Anak yang Lahir Utuh, Namun Terpisah oleh Luka

Anak yang terlahir cerdas, menjadi bodoh karena mengalami banyak perpecahan dan traumatik

RSH-24

7/15/20252 min baca

boy sitting while covering his face
boy sitting while covering his face

Setiap anak lahir membawa kecerdasan bawaan dari Tuhan . Ia membawa kesadaran murni yang belum tercemar oleh dunia. Dalam kesadaran itu, bayi memiliki kemampuan alami untuk merasakan getaran hati orang yang menyentuhnya. Ia belum terjebak oleh kata-kata, logika, atau janji-janji manis. Yang dia rasakan hanyalah keaslian hati .

Ketika seseorang memeluk dengan ketulusan hati yang hangat, tangisan bayi pun mereda. Bukan karena menjanjikan mainan, bukan karena menjanjikan permen. Bayi belum mengenal semua itu. Ia hanya mengenal cinta. Ia hanya mengenal kehadirannya. Begitu pula sebaliknya, Tidak peduli seindah apapun kata-kata yang diucapkan, bayi tahu:
"Orang ini tidak benar-benar menyayangiku." Dia akan tetap menangis kencang.

Namun ketika anak mulai beranjak balita, perlahan ia belajar menukar intuisi dengan keinginan. Ia mulai mudah disogok oleh janji mainan, jajan, atau hadiah kecil. Ia mulai mengajarkan, baik sadar atau tidak, untuk mengabaikan suara hati sendiri .
Sedikit demi sedikit, ia bergeser dari diri sejatinya.

Kecerdasan anak tidak pernah benar-benar hilang. Yang membuatnya tampak bodoh hanyalah karena ia semakin terpisah dari keaslian dirinya.
Yang semula utuh, perlahan terbelah. Yang awalnya selaras, kini terpisah-pisah.

Diri yang Terpecah karena Luka

Perpisahan ini biasanya bermula dari konflik emosional, luka batin, atau pengalaman traumatik. Ibarat bumi yang dahulu satu, kemudian pecah oleh ledakan besar — demikian pula jiwa manusia. Trauma melahirkan ego , yaitu diri palsu yang terbentuk sebagai pelindung.
Ego bukan musuh, dia hanya lahir karena kita pernah sangat sakit.

Bayangkan seorang anak yang tumbuh di bawah bentakan ibunya. Berkali-kali ia mendengar,
"Kamu ini cuma beban!"
Di saat itulah, bagian dari dirinya mulai menciptakan peran baru: 'Aku memang beban.'
Seiring waktu, dia hidup menyesuaikan dengan identitas itu.
Ia mulai berlaku tidak berguna. Ia menarik diri. Ia percaya ia tidak layak.
Padahal, jauh di dalam dirinya terdapat potensi besar yang sedang terpenjara.

Itu baru satu luka.
Bagaimana bila luka itu berlapis-lapis?
Bagaimana bila setiap fase hidupnya menambah lapisan topeng yang menutup cahaya aslinya?

Hidup pun menjadi seperti labirin. Ia tidak tahu lagi jalan pulang. Ia tidak tahu lagi siapa dirinya.
Yang tersisa hanyalah penderitaan tanpa ujung.
Bukan karena dia bodoh. Tapi karena dia lupa. Karena dia terpisah. Karena dia sudah terlalu lama hidup dalam diri palsu yang dibentuk oleh luka.

Kembali Menyatukan Diri

Kita tidak perlu menambahkan apapun ke dalam diri anak.
Yang perlu kita lakukan hanyalah menyadarkan kembali siapa dirinya yang sejati.
Diri yang utuh. Diri yang sudah cukup. Diri yang sejak awal bersinar.
Bukan diri yang tertempelkan label dari dunia.
Bukan diri yang menyimpan luka sebagai identitas.

Kita bukan mengajar, kita membantu mereka pulang.